Rabu, 28 Juli 2010

ADA APA DENGAN PERSUSUAN INDONESIA


Siapa yang tidak yakin kalau susu adalah bahan pangan yang sempurna. Kita pernah belajar di SD bahwa untuk mencapai menu 4 sehat 5 sempurna, maka susulah yang menempati kesempurnaan gizi kita. Tidak ada agama atau keyakinan yang menyebutkan bahwa susu adalah pangan yang haram atau dilarang dikonsumsi.
Banyak negara yang memanfaatkan susu ternak ruminansia (sapi, kambing, domba dan kerbau) sebagai makanan pokok paling tidak menempati porsi sebagai menu makan pagi. Mungkin tradisi atau habit bangsa ini sudah berjalan ratusan tahun yang lalu sampai sekarang dan kalau sekarang ada orang mengklaim bahwa susu merupakan makanan yang tidak sehat jelas pendapat ini akan terbantahkan dengan bangsa-bangsa yang menggunakan susu sebagai makanan pokok mereka.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam tetapi dihuni oleh warga yang sebagian besar miskin. Kita juga pernah diajarkan oleh guru kita saat di SD bahwa "DALAM BADAN YANG SEHAT TERDAPAT JIWA YANG SEHAT". Untuk mendapatkan badan yang sehat bukan hanya bertumpuh pada kegiatan olah raga tetapi juga harus diikuti oleh asupan gizi yang memadai. Asapan gizi yang memadai juga telah diajarkan oleh guru kita dulu yaitu "EMPAT SEHAT LIMA SEMPURNA". Guru kita dulu sangat-sangat bijak karena menu tersebut sebenarnya sudah tersedia di bumi Indonesia, jadi anjuran, ajaran ataupun himbauan tersebut bukan mimpi tetapi realistis dan sangat bisa dikerjakan oleh bangsa ini. Untuk mendapatkan asupan gizi tersebut tidak perlu import dari negara lain, dengan demikian kalau sampai kita import berarti ada masalah dengan proses produksi di negara ini. Bicara tentang proses produksi sangat terkait dengan masalah ekonomi, kebijakan pemerintah dan iklim usaha yang menyebabkan ketahanan pangan menjadi rapuh.

Susu yang dikonsumsi oleh manusia di dunia ini sebagian besar berasal dari susu sapi dan Indonesia juga mampu memproduksi yang saat ini sudah mencapai 1000 ton per hari dan bahkan mungkin sudah lebih. Data ini sangat mudah di dapatkan karena data ini terkumpul di Industri Pengolah Susu (IPS) besar dan jumlahnya dapat dihitung dengan jari kita. Susu segar produksi peternak dalam negeri hampir 90 % terserap oleh IPS, Mungkin bagi penyelenggara negara, hal ini membanggakan karena IPS dapat menampung hasil produksi peternak, tetapi mari kita lihat apa dampak dari semua ini :
1. Harga susu segar di tingkat petani sangat tergantung dari IPS. Apakah IPS saat ini menentukan harga susu sudah disetarakan dengan proses produksi yang dikerjakan peternak ? Apakah peternak sapi perah saat ini sudah bisa tersenyum dengan harga tersebut. Jangan-jangan peternak sapi perah tersebut mengerjakan usahanya karena tidak ada kesempatan bekerja lain, sehingga budidaya sapi perah masih terus dijalankan (terpaksa dari pada menjadi pengangguran).
2. Susu olahan produk IPS sulit terjangkau oleh masyarakat miskin. Masyarakat boleh miskin tetapi asupan gizi utuk anak-anak mereka perlu mendapatkan perhatian. Pada dasarnya susu sapi merupakan bahan pangan yang murah, tetapi menjadi mahal karena banyak biaya yang dikeluarkan mulai dari peternak sampai menjadi susu olahan (susu bubuk). Ini adalah suatu konsekuensi dari pengolahan padahal susu tersebut untuk dapat masuk mulut kondisinya cair. Dengan demikian bisa dibandingkan berapa harga susu bubuk untuk dikarutkan menjadi susu 1 liter dibandingkan dengan harga ditingkat petani 1 liter. Mengapa kita tidak langsung mengkonsumsi susu segar dari farm/peternak untuk memangkas biaya prosessing.
3. Sulit meningkatkan produktifitas sapi perah. Rendahnya harga susu segar di tingkat peternak menyebabkan kreatifitas peternak sapi perah menjadi rendah. Hal ini seperti pada agribisnis lainnya, dimana stimulan harga panen/produk berimbas pada kreatifitas untuk menuju produktifitas ternak yang tinggi.
(hermanto9@yahoo.com)

Minggu, 25 Juli 2010

TERNAK LOKAL MEMPUNYAI POTENSI SEBAGAI PRIMADONA DI INDONESIA


Banyak kebijakan untuk memenuhi kebutuhan Daging melalui import live stock (ternak hidup) dari negara tetangga dan bahkan sebagai calon induk juga diprogramkan peningkatan betina melalui import heifer BX import. Untuk import live stock mungkin masih ada rasa nasionalisme, karena sebelum menjadikan berat potong ternak masih dipelihara di Indonesia yang bisa memanfaatkan pakan lokal dan tenaga kerja sebagai ekstrak sumber daya alam dan manusia Indonesia yang saat ini memang sangat diperlukan. Akan tetapi untuk import daging beku kelihatanya si importir sudah kebablasan mencari keuntungan sendiri, keuntungan sesaat yang berdampak sangat luas terhadap kekuatan peternakan kita.

Mari kita lihat potensi ternak/sapi lokal kita seperti : sapi ongle, Sumba ongole, Bali, Madura yang sebenarnya tidak kalah dengan sapi yang saat ini diidolakan yaitu BX (Brahman Cross), berwajah Limousin, Simental, Hereford atau gado-gado yang tidak jelas phenotipiknya. Kalau kita bijak melihat perkembangan melalui kawin silang sapi lokal (Ongole dan Madura) dengan Bos Taurus (simental atau Limousin) hasilnya sudah sangat fantastik. Tetapi kita masih kurang puas dengan melakukan kawin silang dalam dengan meningkatkan darah Bos Taurus. Hasilnya mungkin bagus karena ternak dapat mencapai berat badan di atas 500 kg, tetapi kita perlu tanyakan pada pemotong ternak, apakah berat badan potong yang tinggi tersebut diharapkan oleh pemotong ternak? Selanjutnya pemotong ternak juga ditanya senang mana memotong sapi dengan berat 700 kg dibandingkan dengan yang berat 350 kg dengan kondisi ternak yang gemuk. Tentu jawabnya senang yang berat 350 kg dengan kondisi ternak gemuk. Ternak dengan berat potong ideal 400 sampai 500 kg umumnya dapat dicapai pada persilangan antara sapi lokal dengan bos Taurus (turunan 1), dengan demikian sapi betina lokal kita mempunyai potensi untuk menurunkan F1 yang sangat baik untuk kondisi Indonesia.

Mari mulai saat ini kita promosikan bahwa sapi betina lokal kita baik Ongole maupun Madura mempunyai potensi untuk melahirkan F1 dengan Bos Taurus, sehingga sapi betina kita punya harga yang cukup tinggi tidak seperti sekarang ini. Bila kondisi seperti saat ini dimana kita melupakan potensi sapi betina kita, maka harga sapi betina kita menjadi murah. Hal inilah yang sangat dikawatirkan, karena berakibat pada pemotongan betina produktif pada sapi lokal kita, mengingat harga sapi betina murah padahal harga dagingnya sama aja, sehingga dengan memotong betina, pejagal (pemotong sapi) akan jauh lebih untung.

Jumat, 09 Juli 2010

START UP


SWASEMBADA DAGING....?

Mudah, banyak jalan menuju sana.
Saya tidak mengerti mengapa kita tidak mampu berswasembada daging khususnya daging sapi. Pertanyaan yang menggelitik mengapa harus dipaksakan daging sapi mengapa bukan ternak yang lainnya.
Okeylah kalau memang masakan indonesia berbasis pada dagig sapi, apa yang menjadi kendala untuk memproduksi daging sapi lokal, padahal kita punya native animal/sapi lokal yang cukup potensial dikembangkan dengan agroklimat indonesia.
Salah satu kendala adalah pemotongan hewan/sapi betina yang tidak terkendali karena sapi betina lokal murah harganya, sehingga pemotong (jagal) sapi lebih untung bila memotong ternak tersebut. Bahkan kalau kita melihat proyek pemerintah melalui SMD atau kredit breeding sapi mengalokasikan sapi betina yang digunakan adalah sapi Brahman Cross (BX) yang diimport dari negara tetangga kita Australia. Kondisi ini sangat tidak menguntungkan bagi kita semua karena harga sapi betina lokal bukan malah terangkat tetapi harganya menjadi hancur lebur, kondisi ini membuat sapi betina lokal terus mengalir ke rumah potong hewan (RPH) lebih-lebih di kota kecil yang jauh dari pengamatan pemerintah pusat.
Coba kita berpikir kalau misalkan proyek pemerintah tersebut mewajibkan breeding sapi dengan sapi betina lokal, niscaya harga sapi kita meningkat sehingga pemotong ternak mikir dua kali untuk memotong ternak tersebut, sehingga ternak betina kita akan aman dari pemotongan.