Banyak faktor yang dapat berpengaruh pada hasil silase, seperti :
- Bahan Baku atau hijauan. Dari bahan baku ini yang perlu diperhatikan adalah kandungan : air, WSC dan buffer capacity.
- Teknologi. Teknologi tersebut meliputi : penanganan hijauan, bahan additive yang mungkin perlu ditambahkan dan silo
untuk pembuatan silase, kandungan air dalam hijauan antara 65 sampai 70 persen, atau kandungan bahan kering (BK) sekitar 30 sampai 35 persen. Dengan demikian bila hijauan pakan ingin dibuat silase maka perlu dilakukan pelayuan terlebih dahulu. Sering timbul pertanyaan, bagaimana cara melayukan dan berapa lama waktu yang diperlukan untuk pelayuan tersebut?
Pelayuan umumnya sangat tergantung pada jenis hijauan, umur pemotongan dan kesuburan tanah dimana hijauan itu tumbuh. Semakin muda umur hijauan dan semakin subur lahan umumnya kandungan air dalam hijauan tinggi. Untuk melayukan hijauan sebaikya dilakukan sebagai berikut :
- Setelah hijauan dipotong/dipanen, kemudian diikat pada besaran berat tertentu.
- Tempatkan ikatan hijauan pada naungan dengan posisi berdiri, hal ini untuk menghindari air hujan atau embun pagi yang dapat mempercepat hijauan busuk dan posisi berdiri diharapkan air hasil respirasi hijauan dapat langsung menguap. Apabila hijauan ditumpuk, maka tumpukan bagian bawah akan menguning dan busuk karena air hasil respirasi tertahan di dalam tumpukan hijauan.
- Biarkan hijauan selama 2 sampai 4 hari (tergantung jenis hijauan dan kelembaban tempat naungan). Hijauan siap dicopper apabila warna hijauan sudah hijau pucat. Untuk hijauan yang sudah kuning tetapi masih basah berarti terjadi kesalahan dalam pelayuan. Pada tanaman jagung yang ingin dibuat silase, biarkan hijauan tua di lahan dan siap di chopper tanpa pelayuan apabila dua helai daun bagian bawah sudah menguning.
Untuk tanaman yang mempunyai kandungan protein dan mineral tinggi, seperti tanaman leguminosa sebaiknya untuk pengawetan jangan menggunakan teknik silase karena protein akan didegradasi oleh mikroorganisme menjadi ammonia yang merupakan komponen basa. Selanjutnya mineral juga mempunyai potensi membentuk basa. Komponen basa tersebut bila banyak terdapat dalam silo akan menyebabkan pH sulit turun dan pada akhirnya silase tidak dapat disimpan lebih lama. Komponen yang potensial menjadi basa seperti protein dan mineral tersebut dikatagorikan sebagai buffer capacity yang sebaiknya dihindari dalam pembuatan silase.
Penanganan hijauan yang meliputi cara panen, pelayuan, perubahan ukuran partikel dan kecepatan memasukkan dalam silo juga memegang peranan penting dalam menentukan kualitas silase yang dihasilkan, Kehilangan hijauan diawali dari cara panen, seperti tercecer di lahan. Selanjutnya pada proses pelayuan juga dijumpai adanya kehilangan hijauan, baik dalam bentuk ceceran maupun akibat pelayuan yang salah, seperti busuk, warna kuning serta proses respirasi sel tanaman yang berkepanjangan.
Setelah hijauan layu, maka perlakuan berikutnya adalah merubah ukuran partikel menjadi kecil=kecil. Perubahan partikel ini berfungsi untuk :
- Memudahkan memasukkan hijauan dan menempati semua bagian celah-celah dalam silo agar mudah dibuat kondisi an-aerob.
- Memudahkan mencampur dengan bahan lain (additive) bila diperlukan.
- Chopper adalah alat pemotong hijauan dengan menggunakan pisau sehingga menghasilkan rajangan hijauan. Hasil pemotongan dengan chopper masih dapat diidentifikasi dengan mudah bagian-bagian tanaman (batang dan daun). Ukuran partikel (panjang pemotongan) dapat diatur, biasanya berkisar antara 2 sampai 5 cm.
- Shredder adalah alat mencabik hijauan dengan menghantamkan hijauan dengan kecepatan tinggi pada pisau statis, sehingga menghasilkan serat=serat hijauan. Hasil dari shredder ini sulit diidentifikasi bagian-bagian tanaman, karena bentuk cabikan sudah uniform (seragam).
Hasil pemotongan hijauan sebaiknya langsung dimasukkan dalam silo dan segera ditutup. Kecepatan pengisian silo memagang peranan penting dalam kualitas silase, hal ini untuk menghindari proses respirasi sel tanaman yang berkepanjangan. Umumnya untuk mempercepat proses pengisian silo serta menghindari ceceran hasil pemotongan dilakukan dengan mengarahkan hasil pemotongan chopper atau shredder langsung ke silo.
Additive
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa kandungan WSC sangat diperlukan dalam pembuatan silase, namun kenyataannya tidak semua tanaman mempunyai kandungan WSC yang cukup. Sebagai suatu solusi agar hijauan tersebut tetap dapat diawetkan dalam bentuk silase, maka diperlukan tambahan bahan yang kaya akan WSC. Pada dasarnya pembuatan silase mempunyai dampak penurunan atau kerusakan zat makanan, sehingga untuk menutupi kekurangan zat makanan tersebut dapat dilakukan dengan menambah zat makanan lain. Zat makanan dalam bentuk bahan pakan yang ditambahkan dalam silase disebut dengan additive. Ada beberapa additive yang bisa ditambahkan dalam pembuatan silase sesuai dengan tujuannya seperti pada gambar berikut.Terdapat 3 kelompok additive dalam pembuatan silase, yaitu :
1. Bahan pengganti fermentasi
Salah satu bahan pengganti fermentasi yang sering untuk mengawetkan pakan adalah asam formiat. Hijauan yang disiram dengan asam formiat langsung bersifat asam dan akhirnya dapat awet, namun penggunaan bahan ini di negara tropis basah seperti Indonesia kurang layak dikerjakan karena di daerah tropis basah kaya akan bakteri penghasil asam laktat serta penggunaan asam ini juga tidak murah.
2. Bahan untuk mempercepat proses fermentasi
Bahan ini sengaja ditambahkan untuk mempercepat proses fermentasi, agar asam laktat cepat terbentuk sehingga kerusakan nutrisi dapat dikurangi. Bahan-bahan yang termasuk untuk mempercepat proses fermentasi adalah :
- Enzim, agar nutrient yang komplek menjadi sederhana untuk digunakan sebagai substrat oleh bakteri penghasil asam laktat (misal : enzim selulase)
- Kultur bakteri, starter/inokulan bakteri asam laktat (Lactobacillus) dengan harapan populasi bakteri pada saat awal rnsilase jumlahnya banyak.
- Antioksidan, diharapkan dapat menghambat aktifitas oksidasi dalam silo.
3. Bahan pakan untuk menutup zat makanan tertentu
Bahan ini ditambahkan pada pembuatan silase agar pertumbuhan bakteri asam laktat lebih optimal, selain itu juga menjadikan nutrient silase menjadi lebih baik karena bahan-bahan tersebut tidak semuanya dapat dimanfaatkan oleh bakteri. Adapun bahan-bahan yang dikatagorikan untuk menutup zat makanan tertentu tersebut adalah :
- Molasses (tetes), merupakan bahan yang banyak mengandung WSC untuk pertumbuhan bakteri asam laktat.
- Urea, merupakan sumber N untuk pertumbuhan bakteri asam laktat. Namun pemberian urea tidak dianjurkan dalam jumlah yang banyak karena bahan ini tergolong sebagai sumber buffer capacity.
- Bahan pakan, seperti gaplek, bekatul, pollard yang umumnya adalah bahan sumber enersi.
Silo
Silo sebagai tempat pembuatan silase juga memegang peranan penting dalam pembuatan silase. Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan berkaitan sengan silo ini, yaitu :
- Silo harus mampu mendukung kondisi an-aerob (kedap udara). Untuk membuat kondisi an-aerob umumnya hijauan dalam silo dipadatkan dengan cara diinjak-injak, dilindas dengan traktor atau menggunakan pompa vacuum (untuk kantong plastik). Selama ensilase sampai penyimpanan silo tidak boleh bocor.
- Mudah untuk diisi hijauan, dimampatkan dan ditutup.
- Mudah cara pengambilan hijauan dan mudah ditutup kembali agar sisa silase dalam silo yang masih belum digunakan tidak rusak.
- Terbuat dari bahan yang tahan asam, seperti : tembok dan plastik.
- Ditempatkan jauh dari pemukiman, mengingat silase berbau asam dan kadang di dasar silo terdapat leachate yang dapat mencemari sumber air bersih.
Evaluasi Silase
Ada beberapa indicator yang dapat digunakan untuk menentukan kualitas silase katagori baik atau jelek. Adapun indicator tersebut meliputi :
1. Analisis proksimat & pH
Analisis proksimat perlu dilakukan agar kandungan zat makan dalam silase dapat diketahui, hal ini sangat penting untuk penyusunan ransum ternak. Selanjutnya pH juga perlu diukur, dengan cara mencampurkan 1 bagian silase dengan 9 bagian air kemudian diukur dengan pH meter. Adapun criteria dari pH tersebut sebagai berikut
- pH > 4,5 kurang baik, karena bila disimpan lama mempunyai resiko rusaknya nutrient
- pH 4,3 – 4,5 cukup baik
- pH 3,8 – 4,2 sangat ideal, dan tetap stabil selama silo tidak bocor.
2. Kehilangan nutrien (zat makanan)
Kehilangan nutrien dalam pembuatan silase rata-rata 13 – 17%. Penyebab kehilangan nutrien ini bervariasi seperti :
- Kehilangan biomassa hijauan di lapangan mulai dari panen, chopping, pelayuan sampai pengisian dalam silo.
- Respirasi dan panas akibat respirasi
- Fermentasi. Kehilangan nutrien akibat fermentasi ini dipengaruhi oleh tingkat kepadatan (semakin padat isi silo semakin an-aerob) serta kandungan WSC (substrat yang tersedia untuk bakteri asam laktat). Pengukuran kehilangan nutrien ini tentunya dapat dilihat dari berat dan kandungan nutrisi sebelum bahan dibuat silase dan setelah dibuat silase. Melihat berat bahan sebelum dan sesudah silase masih belum cukup mengingat kemungkinan besar berat segar antara sebelum dan sesudah silase sama, tetapi setelah dianalisis kandungan nurien ternyata antara sebelum dan sesudah silase berbeda. Kehilangan nutrien yang dimaksud adalah selisih antara nutrient dalam bentuk berat sebelum dan setelah dibuat silase.
Warna silase yang baik adalah coklat terang (kekuningan) dengan bau asam. Warna silase yang coklat gelap kehitaman umumnya berlendir, sedangkan untuk bagian yang menempel pada dinding dan sekitar tutup silo umumnya terdapat jamur. Bagian silase yang berlendir tersebut diupayakan tidak diberikan pada ternak. Selanjutnya bau asam yang terbentuk adalah bau dari asam laktat. Apabila bau silase busuk (seperti bau sampah) atau bau ammonia menunjukkan bahwa asam laktat dalam silo berkurang dan bakteri di dalam silo didominasi oleh bakteri pembusuk serta banyak terjadi pembongkaran protein menjadi ammonia dan asam butirat.
4. N Amonia
Silase yang baik adalah silase yang mempunyai kandungan N Amonia sedikit. N Amonia dalam silase merupakan bentuk pembongkaran protein yang dapat meningkatkan pH silase. N silase boleh tinggi tetapi N Amonia tidak boleh tinggi, seperti indicator berikut ini.
- Fermentasi sangat baik, >10
- Fermentasi baik, 10 - 15
- Fermentasi jelek, 15 - 20
- Fermentasi sangat jelek > 20
Hasil akhir aktifitas fermentasi bahan organic selama ensilase adalah asam organic, tetapi tidak semua asam organic dikehendaki dalam pembuatan silase, Asam organic yang diperlukan dalam pembuatan silase adalah asam laktat. Kandungan asam laktat diharapkan > 60% dari total asam dalam silase.. Rata-rata kandungan asam laktat dalam bahan kering silase sekitar 6,6. Kandungan Asam laktat ini mencerminkan jalannya fermentasi selama ensilase. Adapun petunjuk aktifitas fermentasi berkaitan dengan kandungan asam laktat adalah sebagai berikut :
- Fermentasi silase sangat baik , kandungan asam laktar 8 – 12 %.
- Fermentasi silase jelek, kandungan asam laktat kurang dari 8 %.
Silase yang baik adalah silase yang disukai ternak. Umumnya ternak lebih suka silase dibandingkan dengan hay. Silase setelah dikeluarkan dari silo sebaiknya langsung diberikan pada ternak, jadi tidak pelu diangin-angnkan seperti hasil amoniasi jerami padi. Seringkali dijumpai ada ternak yang tidak suka silase, kondisi ini hanya disebabkan ternak belum terbiasa mengkonsumsi silase, namun dengan latihan antara 2 sampai 3 hari umumnya konsumsi ternak dengan silase berjalan normal.
Pada umumnya pembuatan silase tidak berpengaruh terhadap kecernaan, mengingat kecernaan silase sangat dipengaruhi dari bahan baku hijauannya, Hijauan yang mempunyai kecernaan rendah umumnya hasil silase juga mempunyai kecernaan rendah pula, begitu sebaliknya.
Tugas Mahasiswa :
Kalau memang silase mampu menyelesaikan permasalahan dalam supply hijauan, maka pertanyaannya :
a. Berikan pilihan jenis silo yang bagaimana agar sesuai untuk digunakan oleh peternak.
b. Additive manakah yang diperlukan untuk peternak.
Jawaban berisikan alasan yang sesuai dengan analisis anda dan kirim ke hermanto9@yahoo.com paling lambat 31 Maret 2012.